Motivasi Mulai Menulis?

Belajar menulis itu sama seperti saat kita belajar menguasai keterampilan lainnya. Pada awalnya, pasti terasa sangat berat karena kita tidak tahu harus mulai dari mana. Saat pertama kali menulis, perasaan ragu terus membayangi. Rasa takut terhadap hasil tulisan juga ikut menghantui.
Namun kenyataannya, setelah saya menulis tanpa memikirkan rasa khawatir dan takut, tanpa tuntutan hasil akhir yang harus sempurna, ide-ide justru mengalir dengan sangat deras.
Mungkin inilah yang disebut sebagai in the flow — menciptakan momentum tanpa terlalu memikirkan apa yang akan terjadi. Berbeda halnya ketika kita sedang melakukan analisis dan forecasting; saat itu memang dibutuhkan evaluasi terhadap risiko ke depan serta solusi untuk meminimalkan dampaknya.
Keahlian menulis adalah sebuah keterampilan, sama seperti keterampilan lainnya. Ia butuh pembiasaan dan permulaan — tanpa ada tuntutan untuk menjadi sempurna diawal. Karena memang, awal dari segala sesuatu tidak selalu berjalan mulus. Tugas kita adalah terus melakukan improvisasi agar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Satu hal yang sangat memotivasi saya untuk menulis adalah keinginan untuk memberi dampak besar kepada banyak orang tanpa harus bertemu dengan mereka satu per satu. Dengan menulis, saya bisa memberikan pengaruh bahkan setelah saya tiada.
Buku-buku yang saya tulis adalah warisan terbesar untuk anak-anak saya dan generasi yang akan datang. Bahkan, saya percaya bahwa orang-orang yang akan lahir ribuan tahun setelah saya tiada pun masih bisa merasakan manfaatnya.
Mungkin inilah yang dimaksud bahwa ilmu adalah salah satu bentuk pahala jariyah. Bagi saya, pahala adalah dampak dari sebuah tindakan. Artinya, jika tulisan-tulisan ini memberikan pengaruh positif — meskipun kecil — itu sudah termasuk pahala.
Apa Dampak Menulis?
Tinggal kita pikirkan: sebesar apa dampak yang ingin kita ciptakan? Lihatlah para penulis besar seperti Multatuli dengan Max Havelaar-nya—sebuah novel yang terbit pada tahun 1860. Meski tidak secara langsung terkait dengan Perang Dunia II, karya ini dipercaya telah memicu kesadaran nasionalis yang kemudian melahirkan Revolusi Indonesia dan mendorong proses dekolonisasi setelah perang.
Max Havelaar menjadi semacam pemicu awal yang menyulut semangat perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Dampaknya merambat jauh, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi gelombang dekolonisasi yang lebih luas di dunia pasca Perang Dunia II.
Melihat bagaimana sebuah karya bisa menyentuh urat nadi sebuah bangsa, menginspirasi gerakan, dan mengubah arah sejarah—itu sungguh luar biasa. Ini sangat menarik sekaligus menjadi motivasi besar bagi saya pribadi.
Mungkin satu buku saya tidak akan menciptakan perubahan sebesar itu. Tapi, jika mampu menghentikan satu tindakan kejahatan atau memberi inspirasi pada satu hati yang sedang gelap, itu saja sudah cukup membuat saya bahagia dengan hasil karya saya.
Karena dengan menulis, kita bisa memberikan secercah cahaya ke ruang yang kosong. Dan itulah, sejatinya, dampak dari menulis.