Merelakan Anak untuk Menjadi Manfaat

Saat Nabi Ibrahim AS diminta untuk menyembelih anaknya, Ismail, itu bukan sekadar ujian tentang ketaatan. Bagi saya, kisah itu juga menyimpan makna mendalam tentang keikhlasan seorang ayah dalam melepaskan anaknya untuk menjalani takdir yang lebih besar. Sebuah takdir yang mungkin bukan tentang "bersama", tapi tentang "bermanfaat".

Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Bukan karena Allah ingin menghentikan pengorbanan, tapi justru untuk memperluas maknanya. Sebab domba itu tetap disembelih. Dan dagingnya—seperti tradisi kurban yang kita kenal hari ini—dibagikan kepada banyak orang. Menjadi manfaat. Menjadi berkah.

Kurban yang Tak Terlihat

Dari sinilah saya belajar satu hal: mungkin ada anak-anak yang "dikorbankan" bukan dengan pisau, tapi dengan panggilan hidup. Anak yang tidak lagi bisa kita peluk setiap hari karena memilih tinggal di tempat jauh demi membantu sesama. Anak yang melepas pekerjaan mapan demi membangun sekolah gratis di desa terpencil. Anak yang tak lagi menurut keinginan orang tua, tapi memilih jalan yang ia yakini membawa cahaya bagi banyak orang.

Ada pula anak yang memilih profesi yang tidak mudah dipahami keluarga. Dokter yang rela ditempatkan di daerah terpencil ketimbang praktik di kota besar. Guru yang memilih mengajar di sekolah pinggiran dengan gaji pas-pasan. Wartawan yang mengungkap kebenaran meski harus berhadapan dengan ancaman. Aktivis yang berjuang untuk keadilan walau harus menanggung risiko.

Mereka semua memiliki satu kesamaan: mereka memilih jalan yang lebih besar dari kepentingan pribadi atau keluarga. Dan pilihan itu sering kali meminta pengorbanan dari orang tua yang harus rela melepas.

Berat di Hati Orang Tua

Sebagai orang tua, ini tak mudah. Ada harapan yang tak terpenuhi. Ada bayangan masa depan yang tak sejalan. Tapi kalau kita melihat lebih dalam, siapa tahu justru itulah bentuk kurban kita: melepaskan keinginan, agar anak-anak bisa menjalani peran mereka dalam hidup yang lebih luas dari sekadar rumah.

Kita mungkin sudah membayangkan anak pulang setiap Lebaran dengan cucu-cucu yang berlarian di rumah. Kita mungkin sudah menyiapkan kamar untuk mereka tinggal dekat. Kita mungkin sudah merencanakan bisnis keluarga yang akan diteruskan. Namun Allah punya rencana lain.

Ada ibu yang anaknya memilih menjadi relawan di daerah bencana. Setiap kali ada gempa atau banjir, sang anak langsung terbang ke sana. Pulang hanya sebentar, lalu pergi lagi. Sang ibu khawatir, tapi juga bangga. Khawatir karena anaknya sering berada di tempat berbahaya. Bangga karena anaknya menjadi tangan Allah yang membantu sesama.

Ada ayah yang anaknya memilih menjadi peneliti dengan gaji kecil. Padahal anak itu bisa bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar. Tapi sang anak memilih meneliti penyakit langka yang menyerang anak-anak. Dia bilang pada ayahnya, "Pak, kalau penelitian saya berhasil, banyak anak yang bisa tertolong." Sang ayah mengerti, tapi tetap was-was memikirkan masa depan anaknya.

Melepas Bukan Berarti Tidak Mencintai

Kita mungkin ingin anak-anak kita "berhasil" dalam arti yang kita pahami—punya pekerjaan tetap, tinggal dekat, menikah tepat waktu. Tapi bisa jadi Allah menyiapkan jalan lain: jalan manfaat, bukan kenyamanan.

Melepaskan anak untuk menjadi manfaat bagi orang lain bukan berarti kita tidak mencintai mereka. Justru sebaliknya. Kita mencintai mereka dengan cara yang lebih besar. Kita mencintai mereka cukup untuk membiarkan mereka tumbuh menjadi diri mereka yang sebenarnya.

Ibrahim AS mencintai Ismail. Tapi cintanya tidak egois. Ketika Allah meminta, dia rela melepas. Dan Allah mengganti dengan berkah yang lebih besar. Ismail tidak mati, tapi menjadi bagian dari sejarah besar umat manusia. Nama mereka dikenang hingga hari ini. Kisah mereka menjadi pelajaran bagi miliaran orang.

Hikmah di Balik Perpisahan

Dan siapa tahu, sebagaimana Allah mengganti Ismail dengan domba, Allah pun mengganti perpisahan itu dengan keberkahan yang lebih besar. Sebab pada akhirnya, anak-anak kita bukan milik kita. Mereka hanya titipan. Dan jika mereka harus tumbuh menjadi manfaat bagi orang lain, bukankah itu juga bagian dari doa yang kita panjatkan sejak lama?

Berkah itu bisa datang dalam bentuk yang tak terduga. Anak yang jauh mungkin membuat orang tuanya belajar mandiri dan menemukan makna hidup baru. Anak yang memilih jalan sulit mungkin menginspirasi keluarga untuk lebih menghargai perjuangan. Anak yang mengabdi pada sesama mungkin membawa nama baik keluarga di mata Allah dan manusia.

Ada juga berkah yang datang dari kebanggaan yang dalam. Kebanggaan saat melihat anak kita disebut-sebut orang karena kebaikannya. Kebanggaan saat mendengar orang berterima kasih atas bantuan anak kita. Kebanggaan saat menyadari bahwa anak kita menjadi jawaban doa orang lain.

Doa yang Memiliki Cara Sendiri

"Ya Allah, jadikan anak-anak kami anak yang saleh dan bermanfaat..."

Jangan lupa: doa itu punya cara sendiri untuk dijawab. Dan kadang, jawabannya datang dengan bentuk melepaskan.

Kita berdoa agar anak-anak menjadi saleh. Tapi saleh bukan hanya beribadah dengan rajin. Saleh juga berarti berbuat baik pada sesama. Dan berbuat baik pada sesama kadang meminta mereka untuk pergi jauh, bekerja keras, dan berkorban.

Kita berdoa agar anak-anak bermanfaat. Tapi bermanfaat bukan hanya untuk keluarga. Bermanfaat juga untuk masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Dan untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang, mereka mungkin harus meninggalkan zona nyaman keluarga.

Ujian bagi Orang Tua

Mungkin inilah ujian bagi kita sebagai orang tua. Ujian untuk percaya bahwa anak-anak kita akan baik-baik saja di jalan yang mereka pilih. Ujian untuk percaya bahwa Allah akan menjaga mereka di mana pun mereka berada. Ujian untuk percaya bahwa kebaikan yang mereka lakukan akan kembali kepada kita dalam bentuk berkah.

Ujian untuk tidak egois dengan cinta kita. Ujian untuk tidak memaksakan keinginan kita pada masa depan mereka. Ujian untuk percaya bahwa kadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling mulia.

Ibrahim AS lulus ujian itu. Dia rela melepaskan Ismail demi Allah. Dan Allah memberikan gantinya yang lebih baik. Ismail hidup, menjadi nabi, dan namanya diabadikan dalam sejarah. Ibrahim pun dikenang sebagai bapak para nabi, khalil Allah, sahabat Allah.

Kepercayaan pada Takdir

Pada akhirnya, semua kembali pada kepercayaan kita pada takdir. Percaya bahwa Allah tahu yang terbaik untuk anak-anak kita. Percaya bahwa jalan yang mereka pilih—meski berbeda dari harapan kita—adalah jalan yang Allah ridhoi.

Percaya bahwa kadang, anak-anak kita dipilih Allah untuk misi yang lebih besar. Dan kita, sebagai orang tua, dipilih untuk mendukung misi itu dengan melepaskan mereka dengan ikhlas.

Bukan berarti kita tidak boleh sedih. Ibrahim pasti sedih saat diminta menyembelih Ismail. Tapi kesedihannya tidak menghalangi ketaatannya. Begitu juga kita. Boleh sedih, boleh khawatir, tapi jangan sampai menghalangi anak-anak untuk menjadi diri mereka yang sebenarnya.

Warisan yang Sejati

Dan siapa tahu, warisan sejati yang kita tinggalkan bukanlah harta atau nama keluarga, tapi anak-anak yang menjadi berkah bagi dunia. Anak-anak yang namanya disebut dengan baik oleh orang yang pernah ditolong. Anak-anak yang menjadi jawaban doa orang yang kesusahan. Anak-anak yang menjadi cahaya di tempat yang gelap.

Bukankah itu warisan yang lebih berharga daripada apa pun?

Maka, ketika suatu saat anak kita bilang mereka ingin mengambil jalan yang berbeda dari harapan kita, ingatlah kisah Ibrahim dan Ismail. Ingatlah bahwa kadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling dalam. Dan Allah pasti punya rencana yang lebih baik untuk anak-anak kita.

Wallahu a'lam bishawab.