Cabik Rasa Takutmu Seperti Singa

Ada hari-hari ketika hidup terasa berat. Bukan karena beban di pundak, tapi karena suara-suara di kepala. Yang bilang, "Kamu nggak akan bisa." Yang membisik, "Mimpimu itu ketinggian." Yang menyindir, "Ngapain sih sok berjuang?"

Dan anehnya, suara-suara itu terdengar seperti milik kita sendiri. Padahal, bukan. Itu bukan suara hati—itu gema dari ketakutan lama. Dari luka yang belum selesai. Dari pengalaman yang membuat kita ragu melangkah.

Tapi meskipun kaki gemetar, ada satu hal yang terus bergerak: jantung. Ia menolak mati. Ia menolak menyerah. Ia terus memompa semangat, bahkan saat kita sendiri sudah ingin berhenti.

Ketika Diri Jadi Pemburu

Pernahkah kamu merasa seperti sedang diburu? Seperti ada yang terus mengejarmu, membuatmu susah tidur, susah diam, susah tenang?

Itu bukan orang lain. Itu dirimu sendiri. Lebih tepatnya—dirimu yang sedang lapar akan kebenaran. Yang muak dengan kepura-puraan. Yang ingin bangun dari tidur panjang karena terlalu lama pura-pura baik-baik saja.

Bagian dari dirimu itu seperti singa. Ia lapar. Ia beringas. Ia menerkam semua kebohongan yang kamu pelihara. Ia nggak peduli seberapa rapi kamu menyembunyikannya.

Karena sebetulnya, kamu tidak sedang dikejar oleh sesuatu yang jahat. Kamu sedang dibangunkan. Disadarkan. Dipaksa untuk melihat: siapa kamu sebenarnya.

Dan itulah kenapa rasanya menyakitkan. Karena semua yang palsu harus runtuh. Semua hubungan yang cuma nyaman di permukaan—hancur. Semua rutinitas yang selama ini kamu jalani tanpa makna—terasa hambar.

Kita semua punya topeng. Ada topeng "aku baik-baik saja" saat hati sedang hancur. Ada topeng "aku kuat" saat batin sedang rapuh. Ada topeng "aku senang" saat jiwa sedang kosong.

Topeng itu mulanya untuk melindungi. Tapi lama-lama, kita lupa wajah asli di baliknya. Kita jadi takut melepasnya. Karena apa yang akan orang lihat? Apa yang akan kita temukan?

Inilah yang dimaksud dengan "mangsa". Bukan mangsa dari orang lain, tapi mangsa dari diri sendiri yang palsu. Kita jadi budak dari citra yang kita ciptakan. Kita hidup untuk menyenangkan ekspektasi yang bahkan kita sendiri tidak yakin dari mana asalnya.

Kita takut mengecewakan orang tua yang mungkin sudah lama tidak peduli dengan keinginan mereka sendiri. Kita takut gagal di mata teman yang mungkin juga sedang berjuang dengan ketakutan yang sama. Kita takut sendirian, padahal kita sudah lama kesepian di tengah keramaian.

Saat Singa Mulai Mengaum

Tapi ada momentum tertentu dalam hidup. Saat topeng mulai pecah. Saat kebohongan mulai tercium busuk. Saat kita sudah tidak tahan lagi dengan permainan pura-pura.

Di saat itulah singa dalam diri kita mulai mengaum. Bukan dengan suara, tapi dengan keresahan. Dengan rasa tidak puas yang mendalam. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa kita berhenti dan menatap cermin.

"Siapa aku sebenarnya?" "Apa yang benar-benar aku inginkan?" "Kapan aku mulai hidup untuk orang lain?"

Pertanyaan-pertanyaan ini menyakitkan karena jawabannya sering kali mengejutkan. Kita temukan bahwa mimpi yang kita kejar mungkin bukan mimpi kita. Bahwa cita-cita yang kita perjuangkan mungkin warisan dari rasa takut orang lain. Bahwa kebahagiaan yang kita cari mungkin hanya ilusi dari kesuksesan yang didefinisikan orang lain.

Ketika kesadaran ini datang, dunia lama mulai runtuh. Dan ini menakutkan. Karena meskipun dunia itu palsu, tapi familiar. Meskipun menyakitkan, tapi sudah nyaman. Meskipun membosankan, tapi aman.

Runtuhnya dunia lama berarti kehilangan banyak hal. Kehilangan hubungan yang ternyata cuma dibangun atas kebohongan bersama. Kehilangan pekerjaan yang ternyata cuma pelarian dari ketakutan akan kemiskinan. Kehilangan rutinitas yang ternyata cuma cara untuk tidak berpikir terlalu dalam.

Tapi keruntuhannya juga membawa kelegaan. Kelegaan karena akhirnya kita bisa bernapas. Kelegaan karena tidak perlu lagi berpura-pura. Kelegaan karena beban ekspektasi mulai terangkat.

Di tengah reruntuhan itu, kita mulai menemukan sesuatu yang aneh: kekuatan. Bukan kekuatan yang pura-pura, tapi kekuatan yang lahir dari keputusasaan. Kekuatan yang muncul saat kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.

Kekuatan itu datang dari kesadaran bahwa kita sudah bertahan sejauh ini. Bahwa meskipun berkali-kali jatuh, kita masih di sini. Bahwa meskipun hati hancur berkeping-keping, ia masih berdetak. Bahwa meskipun mimpi sirna, kita masih bisa bermimpi lagi.

Ini adalah saat kita mulai menyadari: selama ini kita bukan mangsa yang tidak berdaya. Kita adalah singa yang terluka, tapi masih hidup. Kita adalah petarung yang kalah berkali-kali, tapi belum menyerah. Kita adalah pejuang yang lelah, tapi masih berdiri.

Mengaum dengan Cara Sendiri

Singa tidak harus menakutkan untuk menjadi kuat. Singa tidak harus buas untuk menjadi pemimpin. Singa cukup jujur dengan kekuatannya, dan tidak minta maaf karena memilikinya.

Begitu juga dengan kita. Kita tidak perlu jadi orang yang menakutkan untuk menjadi kuat. Kita tidak perlu kasar untuk menjadi tegas. Kita tidak perlu jahat untuk melindungi diri.

Kita cukup jujur. Jujur dengan apa yang kita rasakan. Jujur dengan apa yang kita butuhkan. Jujur dengan apa yang tidak lagi bisa kita toleransi.

Kejujuran itu adalah auman kita. Saat kita bilang "tidak" pada hal yang menyakiti kita. Saat kita bilang "ya" pada impian yang selama ini kita sembunyikan. Saat kita bilang "cukup" pada perlakuan yang tidak layak kita terima.

Salah satu ketakutan terbesar saat kita mulai mengaum adalah kesendirian. Karena tidak semua orang siap dengan versi jujur dari diri kita. Tidak semua orang nyaman dengan kita yang sudah berhenti berpura-pura.

Beberapa orang akan pergi. Dan itu menyakitkan. Tapi perginya mereka juga memberi tahu kita sesuatu yang penting: hubungan yang dibangun atas kebohongan tidak akan bertahan saat kebenaran datang.

Dan itu bukan salah kita. Itu bukan berarti kita jahat atau egois. Itu hanya berarti kita sudah tumbuh melampaui versi lama dari diri kita. Dan pertumbuhan itu kadang membutuhkan ruang yang lebih luas dari yang bisa ditampung oleh hubungan lama.

Tapi keajaiban dari menjadi jujur adalah: kita akan menemukan suku kita. Orang-orang yang menerima kita apa adanya. Yang tidak butuh topeng dari kita. Yang justru senang melihat kita dalam versi paling autentik.

Mereka mungkin tidak banyak. Tapi kualitas hubungan dengan mereka akan jauh lebih dalam dan bermakna daripada ratusan hubungan palsu yang pernah kita miliki.

Dan yang terpenting, kita akan menemukan hubungan yang paling penting: hubungan dengan diri sendiri. Hubungan tanpa kebohongan. Tanpa topeng. Tanpa pura-pura.

Singa yang sudah dewasa tidak perlu membuktikan kekuatannya setiap saat. Ia tahu kapan harus mengaum, kapan harus diam. Ia tahu kapan harus berkelahi, kapan harus pergi. Ia tahu kapan harus melindungi, kapan harus melepaskan.

Begitu juga dengan kita setelah melewati transformasi ini. Kita tidak perlu membuktikan kekuatan kita pada setiap orang. Kita tidak perlu bertengkar dengan setiap ketidakadilan. Kita tidak perlu menyelamatkan setiap orang dari kebohongan mereka sendiri.

Kita cukup hidup dengan jujur. Cukup menjadi contoh bahwa hidup autentik itu mungkin. Cukup menjadi bukti bahwa kebahagiaan sejati datang dari menerima diri sendiri, bukan dari persetujuan orang lain.

Kembalinya Sang Raja

Ketika kita berani menjadi singa, kita tidak hanya mengubah hidup kita sendiri. Kita juga memberi izin pada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Anak-anak yang melihat kita akan belajar bahwa mereka tidak perlu hidup dalam ketakutan. Teman-teman yang mengamati perjalanan kita akan berani memulai perjalanan mereka sendiri.

Karena keberanian itu menular. Kejujuran itu menginspirasi. Kejujuran itu mengundang kejujuran yang lain.

Jadi, jika hari ini kamu merasa seperti mangsa—dikejar oleh ketakutan, diburu oleh keraguan, dicekam oleh rasa kekurangan—ingatlah: itu adalah pertanda bahwa singa dalam dirimu sedang bangun.

Jangan lari dari perasaan itu. Jangan bungkam suara yang memanggil untuk perubahan. Jangan paksa dirimu untuk tetap nyaman di dalam kandang yang sudah terlalu sempit.

Karena kamu bukan mangsa. Kamu adalah singa yang lupa cara mengaum. Dan saatnya untuk kembali dan cabik semua rasa takutmu seperti singa yang menerkam mangsanya.